Sabtu, 28 Januari 2012
Jumat, 27 Januari 2012
ASPEK SOSIAL BUDAYA BERKAITAN DENGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
KESEHATAN IBU DAN
ANAK
A.Pendahuluan
SKRT 1994 menunjukkan bhwa MMR sebesar
400 – 450 per 100.000 persalinan. Selain angka kematian, masalah kesehatan ibu
dan anak juga menyangkut angka kesakitan atau morbiditas. Penyakit-penyakit
tertentu seperti ISPA, diare dan tetanus yang sering diderita oleh bayi dan
anak acap kali berakhir dengan kematian. Demikian pula dengan penyakit-penyakit
yang diderita oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan
lain-lain dapat membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau setelah
persalinan.
Program-program pembangunan
kesehatan di Indonesia ditujukan pada penanggulangan masalah-
masalah kesakitan dan kematian pada
penduduk. Untuk menilai derajat kesehatan suatu wilayah, maka yang pertama
dilihat adalah angka kematian bayi/anak. Kesehatan bayi/anak banyak ditentukan
oleh kondisi kesehatan Ibu mulai saat pra-kehamilan sampai pada pasca-kehamilan
sehingga kesehatan ibu mendapat perhatian berikutnya setelah kesehatan anak. Untuk
mengatasi angka kematian, maka persoalan kesakitan harus dikedepankan karena
tidak ada kematian sebelum mengalami kesakitan. Dasar inilah sehingga kesehatan
IBU dan Anak harus mendapat perhatian yang besar.
Pada dasarnya
program-program tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya penurunan
angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan angka kematian ibu. Hasil
yang dicapai belum sesuai dengan harapan, terutama dengan kematian ibu (MMR)
yang selama dua dekade ini tidak menunjukkan penurunan yang berarti.
Pada beberapa
wilayah terasa ada lonjakan kematian, bisa jadi kematian pada wilayah tersebut
sebelumnya sudah tinggi, namun belum terpantau oleh petugas. Setelah hampir
semua wilayah terjangkau oleh petugas, kematian tersebut sudah terpantau
sehingga terlihat ada peningkatan. Dapat juga tingginya kematian tersebut pada
wilayah tertentu disebabkan karena faktgor yang lain.
Baik masalah
kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor
sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari
atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti
konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara
makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali
membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak.
Pola makan, misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia
dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah
mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang
disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa
makanan tertentu.
B. Kesehatan Anak
Salah satu faktor yang secara
langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah makanan yang
diberikan. Kualitas dan kuantitas makanan tergantung pengetahuan atau kebiasaan.
Masyarakat tradisional cenderung mengharapkan perkembangan anak sesuai dengan kondisi alam / yang ada di alam.
Sehingga banyak mencontoh apa yang ada di alam misalnya memberikan pisang besar
sebagai makanan supaya bayi/anak cepat besar. Karena tidak didasari pemikiran
ilmiah sehingga banyak bayi mendapat makanan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan
yang akhirnya menyebabkan bayi/anak mengalami kekurangan gizi.
Kadang-kadang karena tuntutan keluarga, para ibu
bekerja dan hal tersebut ditunjang oleh pengetahuan yang rendah para Ibu-ibu
tentang pentingnya ASI bagi Bayi mereka. Karena bekerja menjadi tuntutan
sehingga tidak mempunyai alternatif lain selain meninggalkan bayi-bayi mereka (terutama
pada neneknya, keluarg lain) dengan susu botol, sehingga konsumsi ASI bagi Bayi
menjadi berkurang atau bahkan tidak sama sekali. Karena bekerja atau aktifitas,
sejumlah ibu mungkin mengalami kurang gizi sehingga akan mempengaruhi produksi
ASI, sudah tentu asi tidak cukup untuk bayi-bayi mereka. Semakin meluasnya dan
berkembangnya formula-formula makanan bayi paten. Ibu lebih sering menjadi korban pengiklanan yang gigih. Seperti
“memberi susu botol adalah tindakan yang
modern dan maju” atau “susu formula dari segi gizi lebih unggul dari pada ASI”.
Selain pemberian ASI menjadi terganggu, juga tidak disadari, dengan susu
formula bisa terjadi salah takar, air sudah terkontaminasi. Yang menderita
adalah Bayi.
Dalam setiap
masyarakat ada aturan-aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan
jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh
anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis
kelamin dan situasi-situasi tertentu. Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak
diperbolehkan atau dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu; ayah yang
bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih banyak
dan bagian yang lebih baik daripada anggota keluarga yang lain; atau anak
laki-laki diberi makan lebih dulu daripada anak perempuan. Walaupun pola makan
ini sudah menjadi tradisi ataupun kebiasaan,namun yang paling berperan mengatur
menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu;
dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
Pada beberapa
masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang
terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda,
dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep
kesehatan moderen ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian
makanan tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4
tahun. Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain
memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu)
kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa
yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada
masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur
tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti,
pisang, nasi yangsudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru
lahir sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI
yang pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini
dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena
warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa
colostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara,
colostrum sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat
tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar
karena pada umumnya ibu memberikan
bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang
tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada
kesehatan dan pertumbuhan bayi. Seperti frekwensi & cara pemberian ASI.
Pada masyarakat Mandar di Sulawesi Barat, payu dara wanita adalah aurat yang
tidak boleh dibuka disembarang tempat, hal ini akan mengurangi frekwensi
pemberian ASI bila Ibu berada di luar rumah atau di sarana transportasi
(misalnya angkutan kota), maka bayi/anak tidak akan mendapat ASI sampai tiba di
tempat tujuan. Pada masyarakat pekerja (misalnya berkebun) cenderung
mendapatkan bayi/anaknya yang kelaparan setelah pulang dari bekerja, mereka
cenderung langsung memberikan ASInya tanpa menghiraukan kebersihan.
Disamping
pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan
banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat
hamil maupun sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu
yang sedang menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur
nangka. Di beberapa daerah ada yang memantangkan ibu yang menyusui untuk
memakan telur. Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala yang hampir universal
berkaitan dengan konsepsi "panas-dingin" yang dapat mempengaruhi
keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia -tanah, udara, api dan air.
Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin maka akan
menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur tersebut
maka seseorang harus mengkonsumsi makanan atau menjalani pengobatan yang
bersifat lebih "dingin" atau sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa,
ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan "dingin"
sehingga ia harus memakan makanan yang "panas" dan menghindari
makanan yang "dingin". Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu yang
sedang hamil (Reddy, 1990).
Menurut Foster dan Anderson
(1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu
sistem teori penyakit dan sistem
perawatan penyakit. Sistem teori penyakit lebih menekankan pada penyebab sakit,
teknik-teknik pengobatan penyakit. Sementara, sistem perawatan penyakit
merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan interaksi beberapa orang,
paling tidak interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah itu dokter atau
dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan menentukan cara pengobatannya.
Penyebab penyakit
dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu personalistik dan naturalistik.
Penyakit-penyakit yang dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen
tertentu seperti perbuatan orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain termasuk
dalam golongan personalistik. Sementara yang termasuk dalam golongan
naturalistik adalah penyakit- penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam
seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain.
Dari sudut pandang
sistem medis moderen adanya persepsi masyarakat yang berbeda terhadap penyakit
seringkali menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh ada masyarakat pada
beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan
karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal
kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya
radang otak yang bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat
menimbulkan kematian. Kepercayaan-kepercayaan lain terhadap demam dan diare
pada bayi adalah karena bayi tersebut bertambah kepandaiannya seperti sudah mau
jalan. Ada pula yang menganggap bahwa diare yang sering diderita oleh bayi dan
anak-anak disebabkan karena pengaruh udara, yang sering dikenal dengan istilah
"masuk angin". Karena persepsi terhadap penyebab penyakit
berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu daerah
dianggap bahwa diare ini disebabkan karena "masuk angin" yang
dipersepsikan sebagai "mendinginnya" badan anak maka perlu diobati
dengan bawang merah karena dapat memanaskan badan si anak.
Sesungguhnya pola
pemberian makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif penyakit
merupakan bagian dari sistem perawaatan kesehatan umum dalam masyarakat
(Klienman, 1980). Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan ini terdapat
unsur-unsur pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen. Hal ini
terlihat bila ada anak yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga
lain akan melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah
itu dengan menggunakan obat tradisional ataupun obat moderen. Tindakan
pemberian obat ini merupakan tindakan pertama yang paling sering dilakukan
dalam upaya mengobati penykit dan merupakan satu tahap dari perilaku mencari
penyembuhan atau kesehatan yang dikenal sebagai "health seeking
behavior". Jika upaya ini tidak
berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke petugas kesehatan
seperti dokter, mantri dan lain-lain.
C. Kesehatan Ibu.
Permasalahan utama
yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah
masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan.
Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe
Motherhood yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita
terutama pada masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Perawatan
kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu
juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan
kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan
bayi dan si ibu sendiri. Pacta berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih
banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan
kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan
ataupun dokter.
Masih
banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan
menyebabkan
tidak terdeteksinya faktor-faktor
resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada
saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa
akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan dan kurangnya informasi tentang persalinan dan permasalahan
yang mungkin timbul. Pada penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dari 132 ibu
yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru
datang pertama kali pada kehamilan 7-9 bulan (Wibowo, 1993). Selain dari
kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan
pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda
yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih
adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang
menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu
yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pada saat
melahirkan.
Permasalahan lain
yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan
karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap
beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang
ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang
sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif
terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada
wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dari data SKRT 1986
terlihat bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia sebesar 73,7%,
dan angka menurun dengan adanya program-program perbaikan gizi menjadi 33% pada
tahun 1995. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia
pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk
pembentukan darah.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan
bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena
akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa
Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi
makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat
Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena
dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil
pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan
besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang
gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk
memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita
hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat
di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
Memasuki masa persalinan
merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala
kemungkinan dapat terjadi sebelum
berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan
peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatan ibu,
pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan
kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi
keadaan gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih
mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di
rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65%
persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah
dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh
dukun yang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996)
menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti
"ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar
persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus
untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu
duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam
yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis, . penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi.
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis, . penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala
tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan
dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau
tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula
diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat
pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh
faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit
akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam
pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan
mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah
dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak
dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan
atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan
ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik
misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak
produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat
mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang
dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si
ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi
semula ; memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan
maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses
persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al.,
1996).
C. Kebijakan pembangunan KIA.
Uraian sebelumnya
telah memperlihatkan bahwa dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan ibu dan
anak melalui program-program pembangunan kesehatan perlu memperhatikan
aspek-aspek sosial-budaya masyarakat. Menempatkan petugas kesehatan dan
membangun fasilitas kesehatan semata tidaklah cukup untuk mengatasi
masalah-masalah KIA di suatu daerah. Seperti diketahui ternyata
perilaku-perilaku kesehatan di masyarakat baik yang menguntungkan atau
merugikan kesehatan banyak sekali dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.
Pada dasarnya,
peran kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk, mengatur
dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial
untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan. Memang tidak semua
praktek/perilaku masyaiakat yang pada awalnya bertujuan untuk menjaga kesehatan
dirinya adalah merupakan praktek yang sesuai dengan ketentuan medis/kesehatan.
Apalagi kalau persepsi tentang kesehatan ataupun penyebab sakit sudah berbeda
sekali dengan konsep medis, tentunya upaya mengatasinya juga berbeda
disesuaikan dengan keyakinan ataupun kepercayaan-kepercayaan yang sudah dianut
secara turun-temurun sehingga lebih banyak menimbulkan dampak-dampak yang
merugikan bagi kesehatan. Dan untuk merubah perilaku ini sangat membutuhkan
waktu dan cara yang strategis. Dengan alasan ini pula dalam hal penempatan
petugas kesehatan dimana selain memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat
juga berfungsi sebagai agen perubah (change agent) maka pengetahuan dan
kemampuan berkomunikasi dari petugas kesehatan sangat diperlukan disamping
kemampuan dan ketrampilan memberi pelayanan kesehatan.
Mengingat bahwa
dari indikator-indikator yang ada menunjukkan derajat kesehatan ibu dan anak
masih perlu diingkatkan, maka dalam upaya perbaikannya perlu
pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara holistik dan integratif yang tidak
hanya terbatas pada bidang kesehatan secara medis saja tetapi juga ekonomi,
pendidikan, sosial dan budaya. Dalam hal melakukan upaya-upaya perbaikan perlu
disadari bahwa hubungan ibu dan anak sangat erat dimana kondisi kesehatan ibu
akan dapat secara langsung mempengaruhi kondisi kesehatan anaknya, baik mulai
dari kandungan maupun setelah persalinan. Oleh karena itu, penting sekali
menempatkan konteks reproduksi dalam program KIA sehingga diharapkan kondisi
kesehatan seseorang benar-benar dapat terpelihara sesuai dengan konsep medis
yang tepat sejak ia berada dalam kandungan, masa kanak-kanak, masa remaja
hingga dewasa.
Kepustakaan :
1.
Central Bureau of
Statistics et al 1995 Indonesia Demographic and health Survey
2.
Departemen Kesehatan
R.I 1994 Profil Kesehatan Indonesia 1994, Pusat Data Kesehatan, Jakarta
3.
Foster, George M dan
Barbara G. Anderson 1986 Antropologi Kesehatan, diterjemahkan oleh Meutia F.
Swasono dan Prijanti Pakan. Jakarta: UI Press
4.
Iskandar, Meiwita
B., et al 1996 Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok, Pusat
Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia.
5.
Kalangi, Nico S 1994
Kebudayaan dan Kesehatan, Jakarta: Megapoin.
6.
Koentjaraningrat dan
A.A Loedin 1985 llmu-ilmu sosial dalam Pembangunan Kesehatan, Jakarta: PT
Gramedia.
7.
Raharjo, Yulfita dan
Lorraine Comer 1990 "Cultur Attitudes to health and sickness in public
Health programs: a demand-creation approach using data from West Aceh,
Indonesia",Health Transition: The Cultural. Social and Behavioral determinants
of Health, volume 11. Disunting oleh John C. Caldwell, et al., Canberra: Health
Transition Centre.
8.
Reddy, P.H. 1990
"Dietary practices during pregnancy, lactation and infaancy : Implications
for Health", Health Transition : The Culture. Social and Behavioral
determinants of Health, volume II. Disunting oleh John C. Caldwell, et al.,
Canberra: Health Transition Centre.
9.
Wibowo, Adik 1993
Kesehatan Ibu di Indonesia: Status "Praesens" dan Masalah yang
dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar " Wanita dan
Kesehatan", Pusat Kajian Wanita FISIP
Rabu, 25 Januari 2012
DAFTAR NAMA-NAMA MAHASISWI YANG BEBAS UAS/FINAL
DAFTAR NAMA-NAMA
|
|||||
MAHASISWI YANG BEBAS UAS/FINAL
|
|||||
NO
|
NAMA
|
NIM
|
KELAS
|
NILAI
|
KETERANGAN
|
1
|
Susi Utami
|
|
1C
|
A
|
|
2
|
Agustina
|
B. 11. 152
|
ID
|
A
|
|
3
|
Evilianti
|
B. 11. 157
|
ID
|
A
|
|
4
|
Mastiana
|
B. 11. 171
|
ID
|
A
|
|
5
|
Ulfa Aulia Askari
|
B. 11. 201
|
ID
|
A
|
|
6
|
Nurlinda
|
B. 11. 237
|
IE
|
A
|
|
7
|
Nursam
|
B. 11. 239
|
IE
|
A
|
|
Adakah yang menyusul ?
|
Langganan:
Postingan (Atom)